Transparansi dan Tindakan Tegas dalam Penanganan Kasus SPPD Fiktif: Kunci Memutus Mata Rantai Korupsi di Riau

RIAU, Faktacepat.id – Kerugian negara akibat kasus Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif di Sekretariat Dewan (Setwan) DPRD Riau resmi dirilis oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebesar Rp 195,9 miliar. Hampir dua ratus miliar rupiah uang rakyat Riau lenyap digondol oleh oknum-oknum berkedok pejabat dalam dua tahun anggaran, tepatnya pada periode 2020-2021. Sementara kondisi sekolah dan fasilitas kesehatan di Riau masih banyak yang memprihatinkan, para pengampu kebijakan justru dengan mudah melakukan praktik korupsi semacam ini.

Sejak Januari 2024, penyelidikan kasus SPPD fiktif ini telah naik ke tahap penyidikan dengan lebih dari 400 saksi telah diperiksa. Proses panjang ini tidak boleh menghasilkan tersangka kelas teri mengingat besarnya kerugian negara dan lamanya waktu penyelidikan yang sempat tertunda akibat proses Pilkada serentak.

Berbanding terbalik dengan besarnya temuan, langkah aparat daerah terkesan lamban. Uang tunai yang baru disita hanya sebagian kecil dari total kerugian, sementara aset mewah seperti kendaraan Harley Davidson hingga apartemen di Batam masih menunggu proses valuasi. Padahal, bukti surat palsu sudah menumpuk, berupa ribuan tiket pesawat dan faktur hotel yang jelas-jelas tidak pernah digunakan. Keterlambatan ini bukan semata-mata persoalan teknis audit, melainkan sinyal kuat adanya perlindungan dari jejaring kekuasaan lokal terhadap “korupsi berjamaah”.

Mengacu pada pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada tanggal 2 Juni 2025, pemberantasan korupsi menjadi agenda prioritas pemerintah. Pernyataan tegas tersebut sejalan dengan misi ke-7 Asta Cita, yang menegaskan reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi sebagai fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

Oleh karena itu, keterlambatan Polda Riau dalam menangani kasus ini bukan hanya masalah daerah, tetapi juga menguji kredibilitas agenda nasional presiden. Bagaimana rakyat dapat percaya pada janji tindakan tegas, jika skandal ratusan miliar di halaman sendiri dibiarkan berlarut-larut seolah menunggu negosiasi politik? Pada titik inilah, seruan supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus bukan sekadar wacana, melainkan konsekuensi logis agar koordinasi antara komando pusat dan penegak hukum di daerah berjalan sinergis.

Riau telah terlalu banyak dihantui kasus korupsi yang menyeret pejabat hingga ke tingkat gubernur. Penetapan tersangka harus dilakukan secara transparan dan menyasar seluruh pelaku korupsi sebagai bentuk keadilan dan pembelajaran bagi masa depan. Sebab, negeri yang kaya sumber daya tidak akan pernah sejahtera jika perilaku korupsi tidak dibasmi dari akar kebiasaan para pejabatnya.

 

Oleh: Febriansyah

Ketua Umum KAMMI Wilayah Riau

Editor: INR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *