RIAU, (Faktacepat.id) – Tak Ada yang Abadi: Sebuah Renungan tentang Waktu, Kebaikan dan Rendah Hati
Ketika burung hidup, ia makan semut. Ketika burung mati, semut yang memakannya.
Waktu berjalan tanpa permisi. Ia tidak meminta izin untuk mengubah apa pun—keadaan, hubungan, bahkan nasib manusia. Hari ini kita bisa berada di puncak kekuasaan, esok hari bisa berada di titik nadir tak berdaya. Hidup tak pernah menjanjikan garis lurus. Ia berputar seperti roda—dan semua yang di atas, bisa turun sewaktu-waktu.
Ilustrasi sederhana tentang burung dan semut ini adalah potret jujur dari siklus kehidupan. Saat burung hidup, ia memakan semut tanpa merasa bersalah. Tapi ketika ia mati, semut datang dan memakannya dengan tenang. Di dalamnya tersembunyi pesan yang dalam: tak ada satu pun posisi di dunia ini yang abadi.
Kehidupan dan Ketidakabadian: Sebuah Kepastian yang Terlupakan
Kita sering kali hidup seakan-akan akan hidup selamanya. Menumpuk kekayaan, mengejar pengakuan, berlomba meninggikan diri—dan lupa bahwa semuanya bisa lenyap dalam hitungan waktu. Lihatlah sejarah. Berapa banyak raja besar yang kini hanya nama dalam buku? Berapa banyak orang kecil yang dikenang karena kebaikan dan kerendahannya?
Kita menolak lupa bahwa hidup ini hanya sementara. Bahwa posisi kita, kekuatan kita, bahkan orang-orang di sekitar kita—semuanya bisa berubah. Dan ketika waktu mengambil peran, ia tak pernah pandang bulu.
Kita terlalu sibuk merasa lebih dari orang lain. Terlalu bangga akan kekuasaan, terlalu tinggi hati karena pencapaian. Namun waktu selalu punya cara menundukkan kita. Dan ketika waktunya tiba, tak ada yang bisa kita lakukan selain menerima bahwa kita tak lagi sekuat dulu.
Memilih Berbuat Baik: Bukan Karena Lemah, Tapi Karena sadar.
Di tengah perubahan yang tak terhindarkan, kebaikan adalah pilihan yang tak pernah keliru. Ia mungkin tak selalu dihargai hari ini, tapi ia akan dikenang lebih lama dari kita sendiri.
Berbuat baik bukan tentang pencitraan. Bukan pula tentang balasan. Berbuat baik adalah tentang memahami bahwa dunia ini terlalu singkat untuk diisi dengan kebencian, kesombongan, atau permusuhan.
Kita tidak pernah tahu siapa yang suatu hari akan membantu kita saat kita jatuh. Mungkin orang yang hari ini kita anggap kecil, atau bahkan yang kita sakiti secara sadar. Maka jangan tunggu menjadi lemah untuk mulai rendah hati. Jadilah orang baik saat kamu masih kuat, masih berpengaruh, dan masih mampu berbuat lebih.
Rendah Hati: Kekuatan yang Tak Banyak Dimiliki
Banyak orang kuat, tapi hanya sedikit yang mampu rendah hati. Rendah hati bukan tentang mengecilkan diri, melainkan menempatkan diri pada tempat yang tepat. Orang rendah hati tidak merasa lebih tinggi, meski berada di puncak. Ia tahu bahwa setiap orang punya cerita, dan setiap jiwa pantas dihargai.
Rendah hati adalah bentuk tertinggi dari pengendalian diri. Ia lahir dari kesadaran bahwa tidak semua harus kita menangkan, dan tidak semua harus kita kalahkan. Kadang, yang terbaik adalah menunduk, mendengar, dan memberi ruang bagi orang lain untuk bersinar.
Orang rendah hati tidak merasa takut kehilangan muka. Ia tak sibuk menjaga gengsi. Karena ia tahu, harga dirinya tidak ditentukan dari pujian orang, tapi dari damai yang ia rasakan saat menyentuh hati orang lain.
Kebaikan dan Kerendahan Hati: Investasi Abadi
Segala hal akan berlalu, tapi kebaikan dan kerendahan hati meninggalkan jejak yang lebih panjang dari umur kita sendiri. Orang mungkin lupa siapa kita, tapi mereka akan mengingat bagaimana perasaan mereka saat bersama kita.
Kebaikan adalah benih yang akan tumbuh bahkan setelah kita tiada. Ia mengalir dalam bentuk cerita, kenangan, dan teladan. Begitu pula kerendahan hati—ia menginspirasi diam-diam, menanamkan harapan pada jiwa-jiwa yang nyaris menyerah.
Maka pilihlah menjadi baik bukan karena kamu takut pada perubahan, tapi karena kamu paham bahwa perubahan tak bisa kamu cegah—tapi kebaikan bisa kamu wariskan.
Sebelum Waktu Mengambil Segalanya
Kita kembali ke awal: Burung makan semut. Semut makan burung.
Siklus hidup yang terus berulang. Dan satu-satunya cara untuk tetap berarti di dalamnya adalah dengan hidup secara sadar—dengan kebaikan dan rendah hati sebagai pijakan.
Hari ini kamu mungkin kuat, sukses, dan dipuja. Tapi waktu akan selalu lebih kuat darimu. Maka berbuat baiklah. Jangan merendahkan siapa pun. Karena ketika waktu menggilir giliranmu, kamu akan sadar:
Yang abadi bukan apa yang kamu punya, tapi apa yang kamu tinggalkan dalam hati orang lain.
Yang Abadi itu Hanya Khalik ALLAH SWT yang menciptakan Alam semesta beserta Isinya… Sedangkan Manusia Hanyalah Makhluk kecil yang diciptakan nya untuk Mengisi Alam semesta yang diciptakan Nya.
Keabadian satu satunya Hanya Allah yang Maha Kuasa.
Penulis : Muhammad Aderman
(Pengurus YKMI Riau)