Polemik Penunjukan Irjen Pol Mohammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI: Ancaman Terhadap Netralitas dan Prinsip Demokrasi

Riau, Faktacepat.id – Suasana di Senayan pagi itu tidak berbeda dari biasanya. Di lobi Gedung DPD RI, keputusan penting sedang dibuat: Irjen Pol. Mohammad Iqbal, seorang perwira tinggi aktif Polri, secara resmi dilantik sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

 

Hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat Indonesia, termasuk di antara para mahasiswa seperti Koordinator Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau, yaitu Syahruddin Ramadhan, yang pada Kamis (22/5/2025) menyuarakan kebingungannya kepada awak media.

 

Menurut aktivis Riau tersebut, informasi yang disampaikan kepada publik sangat minim. Tidak ada penjelasan apakah Irjen Pol Mohammad Iqbal telah pensiun dari dinas aktif. Tidak ada pula publikasi Surat Keputusan mengenai pemberhentian dari Polri. Sebaliknya, muncul pertanyaan: apakah seorang polisi aktif boleh menjabat posisi sipil sebegitu tinggi?

 

Syahruddin Ramadhan menyatakan bahwa berdasarkan hukum, Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menyatakan bahwa anggota Polri dapat menjabat di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Sementara Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN menjelaskan bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi dapat diemban oleh anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif.

 

“Jika tidak ada pengunduran diri, penempatan ini bersifat problematik. Secara hukum, hal ini bermasalah. Secara etika, hal ini mengancam prinsip profesionalisme dan netralitas lembaga sipil,” papar Syahruddin Ramadhan mengkritisi.

 

Lebih lanjut, Syahruddin Ramadhan menjelaskan bahwa posisi Sekretaris Jenderal bukanlah jabatan yang sekadar simbolis. Posisi tersebut merupakan jabatan administratif yang mengatur berbagai aspek birokrasi, manajemen SDM, hingga tata kelola anggaran suatu lembaga. Sebagai Sekretaris Jenderal, individu tersebut adalah motor penggerak di balik ranah administratif DPD RI. Apabila posisi ini dipegang oleh seorang perwira Polri aktif, maka netralitas dan kemandirian lembaga tersebut menjadi taruhannya.

 

“Penunjukan seorang polisi aktif sebagai Sekretaris Jenderal DPD RI jelas melanggar ketentuan hukum. Undang-undang menegaskan bahwa harus terjadi pensiun atau pengunduran terlebih dahulu. Hal ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga menyangkut masa depan demokrasi,” ungkap Syahruddin Ramadhan, Koordinator Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau.

 

“Apabila hukum terus diabaikan, masyarakat dapat kehilangan kepercayaan, dan semangat reformasi dapat lenyap dengan mudah,” tambah aktivis Riau tersebut.

 

Dia juga memperingatkan bahwa tren ini tidak muncul begitu saja. Beberapa tahun belakangan, semakin banyak perwira polisi dan militer aktif yang mulai menjabat di lembaga-lembaga sipil, seperti komisaris BUMN, staf ahli di kementerian, bahkan kepala dinas di daerah. Semua dilakukan atas alasan “penugasan.” Alasan administratif ini, justru membuka celah bagi kembalinya konsep dwifungsi dalam gaya yang baru.

 

“Sebagian pihak menyebutnya sebagai bentuk pragmatisme politik. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa konsep dwifungsi ABRI pada masa lalu juga muncul dari alasan serupa. Dahulu, militer tidak hanya bertugas sebagai alat pertahanan, tetapi juga sebagai pengendali urusan sipil. Reformasi tahun 1998 telah memutuskan ikatan tersebut. Polisi dan tentara ditarik dari jabatan-jabatan sipil guna memastikan supremasi sipil di negara demokratis,” sesuai dengan pandangan Koordinator Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau.

 

Saat ini, ikatan tersebut nampaknya mulai luntur.

 

Penunjukan Irjen Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal DPD telah menimbulkan pertanyaan yang lebih besar: sejauh mana tekad pemerintah dalam menjaga semangat reformasi? Apakah pengisian jabatan sipil oleh aparat aktif akan terus dilakukan secara normal?

 

“Ketidakjelasan mengenai status Iqbal semakin memperumit situasi. Hingga saat ini, tidak ada konfirmasi terbuka dari Mabes Polri ataupun DPD RI terkait proses pengunduran dirinya. Apabila proses tersebut tidak pernah terjadi, maka penunjukan ini melanggar prosedur,” demikian disampaikan oleh Lamhot Gabriel Nainggolan, Divisi Kajian Isu dan Aksi PBH IMM Riau.

 

Lamhot Gabriel Nainggolan menegaskan bahwa kehadiran aparat dalam jabatan strategis seperti Sekretaris Jenderal DPD membuka peluang terjadinya konflik kepentingan. Polisi tunduk pada komando, bukan pada prinsip netralitas.

 

“Ketika posisi sipil diduduki oleh seorang perwira aktif, kita sedang membuka pintu bagi praktik dwifungsi. Demokrasi memerlukan batasan yang jelas antara sipil dan aparat—bukan penyatuan yang memudarkan batas,” tegas Lamhot Gabriel Nainggolan.

 

“Di tengah keraguan yang menyelimuti, satu hal menjadi jelas: jika hukum dipermainkan demi kepentingan kekuasaan, maka demokrasi kita tengah mundur,” demikian disimpulkan.

 

Editor: INR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *