RIAU, Faktacepat – Praktik yang tidak memanusiakan manusia masih terus berlangsung di Kota Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan. Setiap hari, ratusan mobil pengangkut barang dan hewan berseliweran tanpa henti, mengangkut karyawan subkontraktor PT Riau Pulp and Paper (RAPP).
Masyarakat Kabupaten Pelalawan masih menyimpan duka mendalam atas insiden tragis yang terjadi pada Sabtu (22/2) sekitar pukul 10.00 WIB. Truk karyawan PT NWR bermerek Mitsubishi Colt Diesel dengan nomor polisi BM 8699 ZO, yang dikemudikan Maranata Zendatu (33), mengalami kecelakaan tunggal yang merenggut 15 nyawa.
Ahmad (41), salah seorang warga Pangkalan Kerinci, kepada Lintaskriminal.id menyatakan, peristiwa naas tersebut seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pihak kepolisian dalam menegakkan hukum di wilayah Kabupaten Pelalawan. Namun nyatanya, aparat justru memilih untuk menutup mata dan membiarkan praktik pengangkutan karyawan dengan kendaraan angkutan barang dan hewan tetap beroperasi.
“Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penegak hukum, dalam hal ini polisi, menerima ‘upeti’ setiap bulan, sehingga tidak ada yang berani mengambil tindakan tegas terhadap praktik tidak manusiawi ini,” ungkap Ahmad.
Padahal, menurut Ahmad, telah ada regulasi yang secara tegas melarang mobil angkutan barang dan hewan mengangkut penumpang. Namun apa daya, jika aparat penegak hukum sengaja berpura-pura buta terhadap pelanggaran ini.
“Mungkin mereka menunggu tragedi selanjutnya, yang kembali merenggut nyawa, baru saat itu reaksinya akan muncul,” ujar Ahmad dengan nada ragu mengenai integritas penegakan hukum di lingkungan hukum Kabupaten Pelalawan.
Hal senada dikemukakan Arul (34), warga Pangkalan Kerinci lainnya. Ia menyoroti rangkaian kecelakaan maut yang telah mewarnai beberapa tahun terakhir. Namun upaya penertiban dari aparat, khususnya Polres Pelalawan, terkesan tidak pernah dilakukan secara serius dan konsisten.
Kecelakaan serupa yang melibatkan PT NWR juga pernah terjadi pada akhir tahun 2024 di KM 65 Jalan Lintas Timur Pangkalan Kerinci. Dalam insiden tersebut, yang melibatkan tiga kendaraan, dua karyawan subkontraktor RAPP tewas tertimpa mobil bermuatan kayu, sementara tujuh orang lainnya mengalami luka parah dan harus menjalani perawatan intensif di RS Efarina.
“Ini sudah menjadi konsumsi publik. Bisa jadi ada ‘mafia’ yang bermain di balik semua ini. Makanya tidak ada tindakan penertiban terhadap mobil angkutan barang dan hewan. Meskipun sudah sering diberitakan soal kecelakaan mobil angkut karyawan ini, tetap saja dibiarkan,” papar Arul.
Selain itu, Arul juga mempertanyakan sikap perusahaan terhadap para pekerjanya. Mengapa karyawan tersebut tidak difasilitasi dengan bus yang layak? Mereka adalah manusia yang tenaga dan jerih payahnya dihisap mulai pagi hingga sore, namun ketika berangkat dan pulang kerja, mereka harus menumpang kendaraan yang tidak semestinya.
“Bukankah seharusnya mereka diangkut dengan bus, sebagaimana karyawan RAPP lainnya? Dengan demikian, perusahaan bisa dikatakan telah memperlakukan manusia dengan layak dan bermartabat,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi baik dari pihak kepolisian maupun PT RAPP terkait polemik ini.
Editor: INR